Jumat, 16 Maret 2012
Military
Me-262A
Sudah menjadi hal yang umum dalam komunitas aviasi untuk mengklasifikasi pesawat fighter jet menjadi beberapa generasi untuk tujuan historis. Tidak ada definisi resmi untuk generasi-generasi ini; akan tetapi mereka hanya merepresentasikan tahap-tahap pengembangan pendekatan desain fighter, kemampuan performa dan evolusi teknologi.
Rentang waktu setiap generasi tidaklah pasti dan hanya menunjukkan periode selama filosofi desain dan penggunaan teknologinya memberikan pengaruh besar dalam desain dan pengembangan pesawat fighter. Rentang waktu juga meliputi periode puncak service entry pesawat-pesawat di tiap generasi.
Generasi Pertama (Pertengahan 1940an hingga pertengahan 1950an)
Pesawat fighter jet generasi pertama yang terdiri dari desain fighter jet subsonik awal yang dipperkenalkan di akhir PD II dan periode awal pasca-perang. Mereka hanya berbeda sedikit dengan pesawat bermesin piston dalam penampilannya, dan kebanyakan menggunakan sayap tak-tertekuk. Senapan mesin masih merupakan persenjataan utama. Prioritas pengembangan pesawat bermesin-turbojet adalah untuk memperoleh keuntungan mutlak dengan kecepatan maksimum. Kecepatan maksimum fighter meningkat secara drastis selama PD II dengan adanya pengembangan mesin piston yang lebih powerful, dan mulai mendekati penerbangan transonik di mana efisiensi propeler berpenggerak piston menurun drastis
Fighter jet pertama dikembangkan selama PD II dan terlihat melakukan pertempurandalam dua tahun terakhir masa PD II. Messerschmitt mengembangkan dighter jet operasional pertama, Me 262. Pesawat ini jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan pesawat bermesin piston, dan ditangan pilot handal, cukup sulit bagi pilot Sekutu untuk mengalahkannya. Pesawat ini tidak dioperasikan dalam jumlah yang cukup untuk menghentikan serangan udara Sekutu, dan kombinasi dari terbatasnya bahan bakar, kehilangan pilot, dan kesulitan teknis pada mesinnya membuat jumlahnya tetap sedikit. Meskipun demikian, Me 262 telah mengindikasikan bahwa pesawat bermesin piston mulai ketinggalan jaman. Didorong oleh laporan tentang jet Jerman, Gloster Meteor milik Inggris segera masuk produksi dan dua di antaranya mulai bertugas pada 1944. Meteor biasanya digunakan untuk mencegat V-1 "buzz bomb", karena pesawat ini lebih cepat dari pada pesawat piston yang ada pada saat itu. Pada akhir perang, hampir semua pekerjaan pesawat fighter bermesin piston berakhir. Beberapa desain yang mengkombinasikan antara mesin piston dan jet untuk propulsi, seperti Ryan FR Fireball, hanya digunakan dalam waktu yang singkat. Pada akhir 1940an, secara virtual semua pesawat tempur baru bermesin jet.
Gloster Meteor
Disamping kelebihannya, fighter jet awal jauh dari sempurna. Masa pakai operasional mereka, terutama untuk powerplant turbin gas, dapat dihitung dengan ukuran jam; mesinnya sendiri sangat rapuh dan besar, dan tenaganya hanya dapat diatur secara perlahan-lahan. Banya skuadron fighter bermesin piston tetap dipertahankan hingga awal-pertengahan 1950an, bahkan masih menjadi kekuatan utama (walaupun yang dipertahankan adalah desain terbaik dari PD II. Inovasi termasuk kursi lontar dan all-moving tailplanes diperkenalkan pada periode ini.
AS juga menggunakan fighter jet pada masa pasca-perang. Lockheed P-80 Shooting Star (yang kemudian diganti nama menjadi F-80) kurang elegan jika dibandingkan dengan Me-262 bersayap-tekuk, tetapi memiliki kecepatan jelajah (660 km/j [410 mpj]) yang sama cepatnya dengan kecepatan maksimum pesawat fighter bermesin-piston.
MiG-15
Inggris mendesain beberapa jet, termasuk de Havilland Vampire yang dijual ke AU di berbagai negara. Inggris mentransfer teknologi mesin jet Rolls-Royce Nene ke Soviet, yang kemudian mengaplikasikannya pada pesawat fighter Mikoyan-Gurevich MiG-15 yang mempunyai kecepatan terbang yang semakin mendekati kecepatan suara, dari pada pesawat bersayap lurus seperti F-80. Kecepatan maksimalnya mencapai 1,075 km/jam (668 mpj) terbukti cukup mengejutkan pilot F-80 Amerika yang berhadapan di atas Korea, bersama dengan persenjataannya yang terdiri dari dua kanon 23mm dan sebuah kanon 37 mm tunggal. Meskipun demikian, dogfight jet-melawan-jet pertama dalam sejarah terjadi pada Perang Korea pada 8 November 1950, sebuah F-80 mencegat dua MiG 15 milik Korea Utara di dekat Sungai Yalu dan menembak jatuh mereka.
AS merespon dengan membuat pesawat bersayap tekuk mereka sendiri, F-86, untuk bertempur melawan MiG yang memiliki performa transonik serupa. Kedua pesawat tersebut memiliki kekuatan yang berbeda, tetapi mereka cukup serupa dalam hal teknologi yang superior seperti radar ranging gunsight dan kecakapan pilot veteran.
Dunia AL juga bertransisi ke jet pada periode ini, walaupun diperlukan peluncuram-ketapel untuk pesawat baru. F9F Panther Grumman diadopsi oleh AL AS sebagai jet utama dalam periode Perang Korea, dan pesawat ini merupakan salah satu pesawat pertama yang menggunakan afterburner. de Havilland Sea Vampire adalah pesawat fighter jet pertama AL Royal Inggris. Radar digunakan pada pesawat fighter malam seperti F3D Skyknight yang juga menembak jatuh MiG di atas Korea, dan kemudian dipasangkan ke F2H Banshee, F7U Cutlass bersayap tekuk dan F3H Demon sebagai pesawat fighter semua cuaca/malam.Versi awal Misil Udara-ke-Udara Infra-Merah seperti AIM-9 Sidewinder dan misil berpemandu radar seperti AIM-7 Sparrow yang dikembangkan hingga abad ke-21, pertama kali diperkenalkan pada pesawat fighter AL subsonik Demon dan Cutlass.
Fighter Jet Generasi Kedua (Pertengahan 1950an hingga awal 1960an)
Pengembangan pesawat fighter generasi-kedua terbentuk dengan terobosan teknologi, pelajaran yang didapat dari pertempuran udara pada saat Perang Korea, dan fokus pada penggelaran operasi di lingkungan peperangan nuklir. Perkembangan teknologi di bidang aerodinamis, propulsi dan material aerospace (terutama campuran logam aluminium) membuat desainer dapat bereksperimen dengan inovasi aeronautical, seperti sayap tertekuk, sayap delta dan area-ruled fuselages. Penggunaan mesin turbojet dengan afterburner mulai menyebar luas setelah pesawat produksi pertama yang menggunakan sistem ini melampaui kecepatan suara, dan kemampuannya untuk bertahan dalam kecepatan supersonik menjadi kemampuan umum pada pesawat fighter generasi ini.
Desain fighter juga mendapat keuntungan dari teknologi elektronik baru yang membuat radar efektif cukup kecil untuk dibawa pada pesawat yang lebih kecil. Radar onboard membuat deteksi pesawat musuh dapat dilakukan lebih dari jarak visual, dengan demikian meningkatkan memperingan penanganan target oleh radar peringatan dan pelacak berbasis darat jarak jauh. Demikian halnya, kemajuan pengembangan misil berpemandu membuat misil udara-ke-udara menjadi persenjataan utama bagi fighter untuk pertama kalinya dalam sejarah. Selama periode ini, passive-homing infrared-guided (IR) missiles menjadi misil yang umum dipakai, tetapi sensor pada misil IR pada saat itu masih mempunyai sensitivitas yang buruk dan mempunyai field of view yang sangat sempit (biasanya tidak lebih dari 30°), yang membatasi efektifitasnya sehingga hanya dapat digunakan dalam jarak dekat, tail-chase engagements. Misil berpemandu-radar (RF) juga diperkenalkan, tetapi contoh-contoh awalnya terbukti tidak dapat diandalkan. Misil semi-active radar homing (SARH) ini dapat melacak dan mencekat pesawat musuh yang sudah ditandai dengan radar onboard milik pesawat yang meluncurkan misil. Misil udara-ke-udara RF jarak menengah dan jauh menjanjikan untuk membuka dimensi baru pertempuran "beyond-visual-range" (BVR) combat, dan banyak usaha yang dilakukan dalam rangka untuk pengembangan lebih lanjut teknologi ini.
Electric Lightning
Propek kemungkinan terjadinya PD III yang melibatkan kekuatan mekanis canggih dan persenjataan nuklir sehingga pengembangan pesawat dispesialisasikan pada dua pendekatan desain: interseptor seperti Electric Lightning Inggris dan MiG-21F Soviet; dan fighter-bomber, seperti Republic F-105 Thunderchief dan Sukhoi Su-7B. Dogfighting sendiri semakin tidak diutamakan karena dua hal. Interseptor mengutamakan pada misil berpemandu yang secara total menggantikan senapan dan pertempuran akan terjadi secara jarak jauh, di luar jarak visual. Sebagai hasilnya, interseptor didesain dengan kapasitas misil yang besar dan radar yang powerful, sehingga mengorbankan kelincahan untuk mendapatkan kecepatan pendakian, ketinggian operasional maksimum dan kecepatan maksimum. Dengan peran pertahanan udara utama, prioritas ditempatkan pada kemampuan mencegat bomber strategis yang terbang pada altitude tinggi. Interseptor point-defense terspesialisasi kadang memiliki jarak operasional yang terbatas dan ,jika ada, hanya memiliki kemampuan serang-darat sedikit. Fighter-bomber berpindah peran antara superioritas udara dan serang-darat, yang membutuhkan kecepatan tinggi dan penerbangan altitude rendah untuk menjatuhkan/mengirimkan bom/serangan. Misil udara-ke-permukaan berpemandu televisi dan IR diperkenalkan sebagai tambahan bagi bom gravitasi tradisional, dan beberapa dilengkapi untuk mengirimkan bom nuklir.
Jet Fighter Generasi Ketiga (Awal 1960an hingga sekitar 1970)
Generasi ketiga menjadi saksi bukti inovasi generasi kedua, tetapi kebanyakan ditandai dengan prioritas pada manuverabilitas dan kemampuan serang-darat tradisional. Selama 1960an, peningkatan pengalaman dengan misil berpemandu menunjukkan bahwa pertempuran akan udara akan melibatkan dogfight. Avionik analog mulai diperkenalkan, menggantikan peralatan kokpit “steam-gauge” yang lebih tua. Pengembangan untuk meningkatkan performa aerodinamis fighter generasi kedua termasuk flight control surfaces seperti canard, powered slats, dan blown flap. Sejumlah teknologi dicoba untuk Takeoff dan Pendaratan Vertikal/Pendek, tetapi thrust vectoring baru sukses pada Harrier jump jet.
Pertumbuhan kemampuan pertempuran udara fokus pada pengenalan misil udara-ke-udara, sistem radar dan avionik lain yang lebih baik. Sementara senapan mesin masih menjadi peralatan standar, (model awal F-4 merupakan pengecualiannya), misil udara-ke-udara menjadi senjata utama untuk fighter superioritas udara, yang menggunakan radar yang lebih canggih, AAM RF jarak menengah untuk mendapatkan jarak “stand-off” yang lebih besar. Akan tetapi, kill probability misil RF terbukti rendah karena buruknya kehandalan dan pengembangan electronic countermeasures (ECM) untuk mengecoh penlacak radar. Infrared-homing AAM memperlebar fields of view menjadi 45°, yang memberkuat penggunaan taktisnya. Meskipun demikian rendahnya kil-ratio dogfight fighter AS selama perang Vietnam membuat AL AS mendirikan sekolah senjata fighter ”TOPGUN", yang memberikan kurikulum untuk melatih pilot fighter armada dalam taktik dan teknik Air Combat Maneuvering (ACM) dan Dissimilar Air Combat Training (DACT).
Era ini juga memperlihatkan ekspansi kemampuan serang-darat, terutama pada misil kendali dan menjadi saksi pengenalan avionik yang benar-benar efektif pertana kali untuk meningkatkan performa serang darat, termasuk sistem terrain-avoidance. Misil udara-ke-permukaan (ASM) dilengkapi dengan electro-optical (E-O) contrast seekers – seperti model awal yang secara luas digunakan AGM-65 Maverick – menjadi persenjataan standar, dan bom berpemandu laser (LGB) juga secara luas digunakan dalam usaha meningkatkan kemampuan serang-presisi. Pemandu untuk amunisi semacam precision-guided munition (PGM) disediakan oleh targeting pod yang dipasang secara eksternat, yang mana diperkenalkan pada pertengahan 1960an.
F-4E Phantom
Hal ini juga memacu pengembangan senjata otomatis baru, terutama chain-gun yang menggunakan mesin elektrik untuk menggerakkan mekanismenya. Senjata otomatis ini membuat senjata multi-laras tunggal (seperti Vulcan 20mm) untuk dibawa dan memberikan kecepatan penembakan dan akurasi yang jauh lebih baik. Reliabilitas powerplant juga meningkat dan mesin jet menjadi tak berasap untuk membuatnya lebih susah untuk dilihat secara visual pada jarak yang jauh. Pesawat yang didedikasikan untuk serang-darat ( seperti Grumman A-6 Intruder, SEPECAT Jaguar dan LTV A-7 Corsair II) menawarkan jarak yang lebih jauh, sistem serang malam yang lebih canggih atau biaya yang lebih rendah jika dibandingkan dengan fighter supersonik. Dengan sayap variable-geometry, pesawat supersonik F-111 memperkenalkan Pratt & Whitney TF30, yang merupakan mesin turbofan pertama yang dilengkapi dengan afterburner. Proyek ambisius ini berusaha membuat fihter serba guna untuk berbagai peran dan tugas. Pesawat semacam ini juga akan berperan baik sebagai bomber semua-cuaca, tetapi mempunyai performa yang tidak cukup baik untuk mengalahkan fighter lain. McDonnell F-4 Phantom didesain sebagai sebuah interseptor semua-cuaca, tetapi menjadi menjadi strike bomber serba guna yang cukup gesit untuk dipakai dalam pertempuran udara. Pesawat ini digunakan oleh AL, AU dan Marinir AS. Walaupun dengan banyaknya kekurangan yang tidak akan ditangani hingga adanya pesawat baru, Phantom mengklaim 280 aerial kill, lebih dari fighter AS lain di atas Vietnam. Dengan jarak dan kapasitas beban yang menyaingi bomber PD II seperti B-24 Liberator, Phantom menjadi pesawat multi peran yang sangat sukses.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar